Dunya insan, Jakarta - Cerita ini tentang wanita
yang berjuang sendiri setelah suaminya meninggal, tepatnya saat ia mengandung
anak pertama. Untuk menjaga privasi maka nama pelaku disamarkan.
Lokasi : salah satu rumah sakit di kabupaten Brebes
Pagi itu saya bertemu dengan seorang pasien pasca
melahirkan, namanya bu Wita. Setelah melahirkan ia dan bayinya dibawa keruang
perawatan nifas. di ruang itulah kami bertemu. bu wita saat itu masih dalam
proses pemulihan. ketika ia sudah cukup istirahat perlahan saya dekati.
Sebelumnya memasuki ruangan bu wita, saya menutup
tirai ruangan terlebih dahulu agar privasi kami tetep terjaga. Hal pertama
yang saya lakukan adalah menyapa dan menanyakan bagaimana kabarnya. Beliau
membalas sapaan saya dan mengatakan bahwa kabarnya baik. Bayi yang baru lahir
di sampingnya, tampak kemerahan dan cantik seperti ibunya.
Awalnya saya bertanya tentang bgaimana proses
melahirkannya. Lalu beliau menceritakan tentang proses persalinannya yang luar
biasa, Dari mulai mules-mules sampai ia dirujuk oleh bidan di desanya
(kaligangsa) ke rumah sakit rujukan. Kala itu kondisi ketubannya sudah pecah,
pembukaan baru satu.
Ia bersyukur semua penanganan yang ia dapatkan
berjalan dengan lancar.
Bahagianya wanita apabila dalam proses melahirkan
ada suami yang mendampingi, lalu saya bertanya "suami ibu mana ? " bu
wita menjawab "suami saya sudah meninggal bu, sejak awal kehamilan"
Bu wita ternyata seorang janda. Bayi yang
disampingnya adalah anak pertamanya. Dahulu suaminya bekerja sebagai sopir
truck dan bu wita bekerja di sebuah warteg di kawasan Jakarta. Saat hamil, ia
keluar dari pekerjaanya. Kata bu wita, suaminya sangat bahagia mendengar
kehamilannya namun takdir berkata lain. Suatu hari, ia dapat kabar bahwa
suaminya meninggal.
Bu wita memutuskan untuk kembali ke kampung
halaman. Karena ia sudah tak bisa membayar kontrakan dan tak mungkin juga
bekerja dengan kondisi sedang hamil. Kebetulan di desanya masih ada rumah
orangtua yang bisa ia singgahi.
Selama di kampung halaman Bu wita harus memutar
otak untuk bisa bertahan, karena tidak ada sumber pendapatan lagi.
“Saya kadang berjualan di depan puskesmas
kaligangsa bu” ujar bu wita pada saya. Pendapatannya tak seberapa, tiap satu
kue ia dapat untung hanya 500 rupiah. Kalo ada yang ga laku terpaksa ia makan
sendiri, ungkapnya.
Mendengarnya membuat air mata ini tak tertahan,
membayangkan betapa beratnya bu wita ditinggal suami saat ia sedang mengandung.
Bagaimana bila kita ada di posisi bu beliau. Sungguh ini ujian hidup untuk bu
wita, semoga bu wita tegar.
Kunjungan Pasien
Waktu itu saya diberi tugas untuk mengunjungui bu
wita. Tepatnya 6 bulan lebih beberapa hari setelah pertemuan itu saya ke
rumahnya.
Rumah bu wita berada di dalam gang sempit, gang itu
hanya bisa dilalui oleh kendaraan bermotor. Jalannya terbuat dari paving. Pagi
itu sangat sepi, Tidak ada orang yang bisa saya tanyai dimana rumah bu wita.
Ada satu rumah tua, pintunya berwarna hijau.
Kebetulan rumah itu sedang terbuka, saya beranikan diri menghampiri rumah itu.
Saya bertanya kepada orang di dalam rumah,ternyata ia adalah adik bu wita.
Beruntungnya bisa bertemu bu wita di kediamannya. Karena biasanya pagi hari ia
harus bekerja.
Saya menyapa bu wita dan menengok bayinya yang
sedang tidur pulas di ruang tamu. bu wita rupanya sedang kurang enak badan,
makanya ia tak pergi bekerja.
Setelah enam bulan tak bertemu, tampaknya bayi bu
wita sudah makin besar. Beliau juga makin segar daripada waktu lalu.
Kami berdua tersenyum lebar, layaknya teman dekat
yang baru ketemu. Karena sebelumnya sudah pernah bertemu, rasanya tak canggung
untuk kami memulai obrolan pagi itu.
Beliau bercerita bahwa beberapa bulan lalu sempat
kembali ke Jakarta. Ia menungkapkan bahwa pendapatan dari berjualan kue di desa
tak cukup. karena ASI yang keluar darinya sedikit dan anaknya seringkali rewel,
ia memutuskan untuk memberinya Susu formula. Ia bingung bagaimana ia harus
mencari nafkah. Akhirnya ia memutuskan kembali bekerja di sebuah warteg, tempat
kerja ia dulu.
Sebelum memutuskan untuk bekerja lagi, ia sempat
tanya ‘apakah boleh ia bawa anaknya’ dan majikannya mengijinkannya.
Lalu Bu wita ke jakarta bersama bayinya.
Majikannya adalah seorang wanita paruh baya yang
telah lama menikah. Sudah lama ia menginginkan keturunan, namun belum juga di
karuniai.
“Anak saya mau di ambil sama majikan saya bu,
katanya saya ga bakal sanggup membesarkannya. Waktu itu sempet rebutan. Padahal
kan itu anak saya yaa bu” ungkap bu wita sambil mengelus dada.
Ia merasa anaknya sangat berharga. Walaupun ia tak
memiliki harta untuk membesarkan anaknya namun ia yakin pasti Allah memberinya
rezeki entah darimana.
Naluri ibu mana yang mau terpisah dengan darah
dagingnya. mengandung selama 9 bulan adalah sebuah karunia. Tangis lara bahagia
menyelimuti saat menyambuatnya. Tiada tertanding sebuah amanah jika harus
berpasrah ditengah walaupun tak tau arah.
Tak mudah di posisi bu wita, berjuang seorang diri
untuk anaknya. Merasa Dunia sedang tak berpihak padanya. Namun di dalam hatinya
ia yakin Allah bersamanya.
Banyak di dunia ini wanita-wania yang ingin menjadi
ibu, menginginkan buah hati namun tak diberi juga. Bu wita tak ingin
menyia-nyiakan kesempatan yang Allah berikan. Membesarkan dan merawat anaknya
itulah tekad bu wita.
“Setelah kejadian itu saya langsung pamit pulang ke
kampung bersama anak saya, jualan kue lagi. Sering anak saya ikut dagang”
Usia bercerita dan menyelesaikan tugas, saya
mencoba menggendong dan bercanda dengan anaknya.
Saya yakin, setiap anak yang lahir dibuka bumi ini
sudah tergariskan rezekinya. Cicak di dinding saja tak pernah mati kelaparan.
ada saja makanan yang bisa dihinggapi seekor lalat untuk bertahan hidup dan
Walau musim silih berganti, tetap saja ada bunga yang bisa kupu-kupu hinggapi
hingga ia bisa beregenerasi.
Selesai melaksanakan tugas, saya berpamitan. Bu
wita membawakan saya roti dagangannya. Namun saya tak ingin roti ini gratisan.
Saya tanya berapa, bu wita jawab 3000 saja bu. Saya ga ambil untung.
Di saat hidup kekurangan tapi bu wita masih saja
bermurah hati. Rasanya ini tamparan hidup bagi saya. saya pun segera mengeluarkan
sejumlah uang dan sedikit bingkisan. saya pamit dan beranjak pergi dari
kediaman bu wita.
Jangan lupa bersyukur ya sahabat insani.
Author : Arinawati
0 Komentar